Komnas Gelar Diskusi Percepat Penyelesaian Kasus HAM Berat Yang Belum Tuntas

Sorot surabaya – Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masih jauh dari harapan publik dan korban. Meski rezim terus berganti, berkas laporan penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM belum mendapat respon cukup dari Presiden dan jajarannya.

Kondisi tersebut menyebabkan korban dan keluarga korban terus mempertanyakan komitmen negara atas pemenuhan hak asasi manusia negara. Pelanggaran HAM Berat bukan merupakan kejahatan biasa seperti diatur dalam KUHP dan juga dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM memuat kategori kejahatan yang termasuk pelanggaran HAM berat yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. “Sebagai upaya menjaga penyelesaian pelanggaran HAM berat tetap menjadi perhatian dan prioritas negara, kami melakukan serangkaian kegiatan publik yang diharapkan kasus HAM bisa dituntaskan,” ujar Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara disela acara diskusi publik yang digelar di hotel GreenSA Jalan Raya Bandara Juanda, Kamis (30/8/2018)

Menurutnya, peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000, menurut Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000, peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ad hoc ini dibentuk melalui Keputusan Presiden berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap suatu peristiwa tertentu. Menurut Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000, penyelidikan atas pelanggaran HAM berat dilakukan Komnas HAM. Sementara untuk pelanggaran HAM setelah tahun 2000, cukup melalui Keppres. “Tapi sejauh penuntasan kasus-kasu HAM sangat lamban. Bahkan bisa dikatakan sangat pelan,” tandas Beka.

Komnas HAM dalam melaksanakan tugasnya, berwenang menerima laporan atau pengaduan seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b. Sedangkan, untuk penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Hukum Acara atas perkara pelanggaran HAM berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Sejumlah pelanggaran HAM di Indonesia antara lain, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Talangsari, pembunuhan aktivis HAM Munir, peristiwa Trisaksi, peristiwa Semanggi I dan II, pembunuhan aktivis buruh Marsinah, peristiwa di Abepura Papua.

Kualifikasi pelanggaran HAM kategori berat atau bukan, didasarkan pada sifat dari kejahatan. Yakni, sistematis (systematic) atau meluas (widespread). Sistematis dikonstrusikan sebagai suatu kebijakan atau rangkaian tindakan yang telah direncanakan. Sementara meluas menunjuk pada akibat dari tindakan yang menimbulkan banyak korban dan kerusakan yang parah secara meluas. “Saat ini, kami menggelar diskusi publik terkait penyelesaian pelanggaran HAM di 14 kota di Indonesia. Salah satunya di Malang dan Surabaya Jawa Timur,” pungkas Beka.

Dalam diskusi ini juga disinggung hak atas pemulihan (remedy) bagi korban adalah merupakan bagian dari HAM. Maka negara merupakan pihak yang memiliki kewajiban untuk memulihkan hak korban pelanggaran HAM. Pada level internasional hak pemulihan bagi korban pelanggaran HAM ini didasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 60/147 yang menggariskan prinsip dan pedoman tentang hak atas pemulihan korban pelanggaran berat HAM. “Bagi korban pelanggaran HAM, perlu ada kompensasi yang sepadan dari pemerintah. Misalnya, dimasukkan menjadi ASN (aparatur sipil negara). Itu untuk menjamin kelangsung hidup dan masa dengan korban pelanggaran HAM,” kata dosen UNISMA dan Ketua ISNU Jatim, Mas’ud Said. (lh/ref)

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Don't have account. Register

Lost Password

Register